Sabtu, 20 Oktober 2012

cerita sejarah Sultan Hasanuddin


Sultan Hasanuddin


Meski bukan putra mahkota, karena bukan “Anak Pattola”, Hasanuddin lebih menonjol daripada sau­daranya yang berstatus putra mahkota. la berbadan kekar, kuat, tampan, cerdas, dan berbudi luhur. Dalam usia 20 tahun ia dipercaya ayahnya, Sultan Malikussaid, men­jadi duta untuk membina hubung­an yang harmonis antara Kerajaan Gowa dan kerajaan-kerajaan yang bersahabat atau yang tunduk kepada Kerajaan Gowa.

Saat itu, Makassar telah ber­hubungan dengan Gubemur Spa­nyol di Manila, raja muda Portugis di Gowa, syarif Mekah, dan lain-lain. Selain menjadi panglima besar Angkatan Perang Kerajaan Gowa, Hasanuddin juga aktif ber­dakwah di kalangan kaum muda. Tak aneh bila unsur agama Islam sangat mempengaruhi sikapnya terhadap Belanda.
Sesuai dengan amanat ayah­nya, yang didukung pembesar-­pembesar kerajaan, dalam usia 22 tahun Hasanuddin diangkat men­jadi sultan Gowa, segera setelah ayahnya wafat pada 1653 M. De­ngan demikian ia adalah raja ke­16 Kerajaan Gowa (Makassar), atau sultan ketiga setelah kerajaan itu menjadi kesultanan Islam. Hasanuddin lahir pada 1631. la diberi sejumlah nama dan gelar, yaitu Makassar, Mallombasi, Muhammad Baqir, Daeng Mattawang, Karaeng Bontomangape, Sultan Hasunuddin, dan Tumanenga ri Balla’ Pang­kana.
Sebagai sultan, Hasanuddin memiliki tekad yang kuat untuk mematahkan upaya Kompeni Belanda memperluas kekuasaan­nya di Nusantara. la menghimpun segenap kekuatan dari daerah-daerah taklukan, seperti Wajo, Bone, Soppeng, dan Bonthain, serta Kerajaan Manadou atau Manandau di Sulawesi Utara. Itu sebabnya, Islam masuk Sulut dengan damai. Pada 1660, Islam juga memasuki Bolaang Mangandow. Mereka bersatu padu di bawah panji Kerajaan Gowa, yang berpusat di Sombaopu, 9 km selatan Ujungpandang.
Langkah awalnya, membuat Makassar menjadi bandar yang besar. Caranya, dengan menguasai kawasan di sekitarnya, seperti Sumba, Sumbawa, Flores, Seram, Solor, Buru, Manado, dan Sangir Talaud. Dengan demikian, semua pedagang hanya akan berlabuh di Makassar bila mengarungi perairan di sana. Dengan Kerajaan Banten, Malaka, dan Maluku, dibuat perjanjian damai untuk menggalang kekuatan menghadapi musuh dari luar. Alhasil, Makassar mencapai zaman keemasan. Para pedagang Makassar dan Bugis bebas berusaha ke seluruh pelabuhan Nusantara tanpa perlu merasa cemas.
Kondisi itu membuat Belanda kesal. Mereka, yang merindukan monopoli dagang di Indonesia Timur, hanya dapat melihat kebebasan yang digelar Hasanuddin itu dengan gigit jari. Bibit-bibit ketegangan mulai muncul ke permukaan berupa insiden yang berlangsung sekitar tahun 1653-1655 di perairan Maluku dan Buton.
Hasanuddin sangat membantu per­juangan rakyat Maluku yang sudah lama menderita akibat kekejaman aksi hongi Belanda. Pada 1653 ia mengirim sekitar 100 perahu pasukan menuju Maluku, tapi tidak berjumpa dengan armada Belanda, yang temyata sudah berada di sekitar Pulau Buton. Armada Gowa segera berbalik menuju Buton, dan terjadilah pertempuran sengit yang berakhir imbang. Pada 28 Desember 1655 tercapai persetujuan dalam beberapa hal. Namun Hasanuddin merasa dirugikan, karena di dalamnya terdapat ketentuan bahwa Belanda boleh menangkap orang Makassar di perairan Maluku.
Sultan Hasanuddin tetap melanjutkan upaya dengan mendirikan Benteng Laha di Amboina, tapi benteng itu bisa dihancurkan Belanda pada 1655, dan Kompeni mengusir orang-orang Gowa dari sana. Tapi Hasa­nuddin membalas dengan menyerang Buton dan mengusir orang-orang Belanda yang ditempatkan di situ. Ketegangan ini bisa diredam oleh Van der Beck dengan perun­dingan pada 1656.
Pada 1660, armada Hasanuddin berhasil memenangkan pertempuran dengan ar­mada Portugis di perairan Makassar, namun harus dibayar dengan terkurasnya tenaga mereka. Hal ini dimanfaatkan Belanda dengan menyerang benteng-benteng Kerajaan Gowa. Sehingga, meski bertahan dengan kuat, bobol juga pertahanan Gowa, termasuk Benteng Pannakukang. Kenya­taan itu memaksa Hasanuddin menerima ajakan berunding di Jakarta yang mengha­silkan 25 butir kesepakatan yang merugikan Gowa sebagai pihak yang kalah.
Namun, bukan Hasanuddin bila menye­rah begitu saja. la menghimpun kekuatan baru yang terdiri dari orang-orang Makas­sar, Bugis, Bone, Soppeng dan lain-lain un­tuk membangun dan memperkukuh Benteng Sombaopu, Ujungpandang, Ujung Tanah di utara, Garasi, Pannakukang, dan Barombong di selatan. Aru Palaka dari Bone, yang ingin lepas dari Gowa, dikalahkan Hasanuddin. Aru Palaka akhirnya membantu Belanda ketika pecah perang dahsyat di Gowa antara tentara Hasanuddin dan Belanda. Dan inilah awal kekalahan Hasanuddin. Pusat perbe­kalan tentara Hasanuddin di sepanjang Pantai Bataeng dapat dimusnahkan Belanda. Akibatnya, meski mereka bertahan mati­-matian, tak urung pil pahit harus ditelan juga.
Pukulan yang mematikan bagi Hasa­nuddin justru datang dari Aru Palaka. Dengan bantuan Belanda, bangsawan Bone ini menyerang melalui jalan darat, Bone, Panju, Bataeng, Jeneponto, dan sasaran utamanya Benteng Sombaopu. Peristiwa ini disebut Perang Gowa (1666­1667) dan membuka perundingan Bongaya pada 18 November 1667, menyudutkan Hasanuddin. Dengan ber­bekal Benteng Sombaopu, Hasanuddin masih mampu mengangkat senjata, dan meletuslah perang hebat pada 12 April 1668. Benteng Sombaopu baru benar-benar jatuh ke tangan Belanda pada 24 Juni 1669 dan memaksa Hasanuddin menyerahkan takh­tanya kepada Amir Hamzah, alias I Mappa­somba Daeng Nguraga, putranya. Sejak itu, Makassar berada di bahah kekuasaan VOC dan menyebarlah pengaruh Batavia di bagian timur Indonesia.
Tapi, rakyat Makassar meneruskan perjuangan Hasanuddin dengan perlawan­an gerilya hingga tak sedikit jatuh korban Atau melarikan diri ke Jawa Timur, bergabung dengan Trunojoyo, atau ke Banten, bergabung dengan Sultan Abdul Fattah atau Sultan Agung Tirtayasa.
Meski tidak pesat, per­kembangan Islam di Sula­wesi Utara cukup mantap, kecuali di Minahasa. Ketika raja-raja Bolaang Mangon­dow masuk Islam, mereka tetap menggunakan nama aslinya, seperti Ismail Cor­nellis Manoppo, Jacobus Manuel Manoppo, dan lain-lain.
Kerajaan Gowa mem­bentangkan jalur politik dan ekonomi ke selatan melalui Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, NTB, dan NTT.
Belum setahun sejak pe­nyerahan kekuasaan, Hasanuddin mengembuskan napas terakhir, tepatnya pada 12 Juni 1670, dalam usia 40 tahun. Seorang pahlawan bangsa yang bertabur kisah-kisah perang telah tiada.
Pada 1973, pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Hasanuddin, yang oleh Belanda dijuluki “Ayam Jantan dari Timur” (Haantjes van Het Oosten) itu. Namanya kemudian diabadikan untuk lem­baga pendidikan tinggi di daerah kekuasaan­nya, Universitas Hasanuddin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar