KURANG lebih dua abad silam terjadi peperangan
sengit antara bangsa kolonial Inggris dengan Keraton Ngayogyokarto.
Bangsa kolonial memporak-porandakan Keraton Ngayogjokarto. Ribuan karya
monumental produk asli keraton dirampas dan dibawa oleh Inggris dan
tidak dikembalikan hingga sekarang. Sebuah kerugian yang luar biasa
diderita Bangsa Indonesia, dan Keraton Ngayogjokarto khususnya.
Hal ini mengetuk pintu hati salah satu ilmuan ternama Inggris, Peter
Carey. Carey merasa bangsanya berhutang budi kepada Keraton
Ngayogjokarto lantaran perampokan karya adiluhung di atas.
Dia kemudian menuliskan sebuah buku tentang sosok ternama putra asli
Keraton, Pangeran Diponegoro. Buku tersebut dia beri judul Kuasa
Ramalan. Buku ini hasil penelitiannya selama kurun 30 tahun dengan
sumber karya adiluhung hasil perampasan di atas sebagai referensi utama.
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, raja
Mataram di Yogyakarta. Pangeran Diponegoro lahir pada 11 November 1785
di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A.
Mangkarawati, istri non permaisuri dari Pacitan. Pangeran Diponegoro
kecil bernama Raden Mas Ontowiryo.
Diponegoro mempunyai 3 orang istri yaitu, Bendara Raden Ayu
Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, dan Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga
dia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal buyut putrinya,
permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada tinggal di Keraton.
Karena rasa cinta dan hormatnya terhadap adat dan leluhur Jawa,
Diponegoro selalu menjunjung tinggi kesakralan dan kearifan budaya
leluhurnya. Maka, ketika Belanda mencoba menggusur tanah makam
leluhurnya untuk pembangunan jalan, Diponegoro sangat tersinggung dan
marah besar. Berawal dari situlah, Diponegoro bertekad mengangkat
senjata untuk memerangi Belanda.
Peter Carey melakukan penelitiannya juga di Tegalrejo. Karena dia
meyakini bahwa di situlah sosok Diponegoro ditempa. Tak kurang 30 tahun,
Carey hidup dan bersosialisasi di daerah tersebut seraya terus
mengumpulkan data penelitiannya.
Diponegoro dikenal sebagai seorang pemimpin yang gagah berani dan tak
pernah gentar menghadapi musuh. Dengan kharismanya dia berhasil
menghimpun kekuatan rakyat pribumi Jawa khususnya untuk melawan Belanda.
Dibawah komando sang Pangeran asal Yogyakarta ini rakyat pribumi
bersatu dalam semangat sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati
(sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati). Perang terbesar
dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia ini berlangsung selama kurun
waktu 5 tahun (1825-1830) yang diakhiri dengan penangkapan dan
pengasingan Diponegoro.
Pangeran muslim nan saleh itu wafat pada 8 Januari 1855 dan
dimakamkan di Makassar. Sejauh ini belum ada biografi utuh tentang
kehidupan dan perjuangan sang Pangeran yang menggunakan sumber Jawa dan
Belanda.
Carey, dengan bahasanya yang ringan, menyusun kisah demi kisah
Diponegoro dengan runtut dan rinci. Buku ini bertutur tentang kehidupan
Sang Pangeran yang berjuang mempertahankan adat dan budaya Jawa yang
diinjak-injak oleh Kolonial Belanda. Membaca buku ini dapat membuka
cakrawala pengetahuan tentang satu babak yang tidak bisa lepas dari
sejarah kemerdekaan Indonesia.
Di sisi lain, buku ini sangat relevan digunakan sebagai cermin era
modern ini. Di mana para penyelenggara negara lebih asyik dengan dirinya
sendiri dan lupa akan tugas utamanya. Kemerosotan moral dan martabat
melanda kalangan pejabat, korupsi yang merajalela, dan kesenjangan
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar